Walimah: Ode Retorika
...
dan kami yang bersilaju di
gelanggang sayembara bergerilya mengincar
daulat nan lengkara
kentara seperti budaya yang bertulang di raga,
yang mendarah di jiwa
—ialah bahasa bangsa
: pusaka yang berwangsit pada tuah kulasentana agar pengabdian abadi pelihara utuh rangkanya.
i/
Ibadah
cengkerama silih bermunajat sepanjang
takdir yang bersinyalir dalam hayat menujumkan
persatuan yang berkereta menuju maslahat
menuju kemanunggalan bineka masyarakat dari ragam paradigma yang mencokol jemala ialah bahasa yang menaut jemari Bangka hingga Malaka.
di sisi lain,
wanoja melagukan tembang populer
teruna berfoya lafazkan bahasa metropolitan
semenjana, proletar sekadar pongah
melantun retorika loka ibu
—apa demikianlah kita terberai yojana?
niscayalah lenggana,
kemerdekaan begitu meriba aneka retorika
dan Bahasa Indonesia jadi persemayaman segenapnya jadi mastautin himpunan aksara.
ii/
Meninjau dialektika yang cendekia
sebagai mahia suara-suara dalam janabijana ialah barter inspirasi adisiswa Lhokseumawe—
yang berkonspirasi kontemplasi anak-anak Merauke menyusu integritas bumiputra: Bahasa Indonesia
atas nasionalisasi harkat jiwa putera-puteri bangsa.
di sisi lain,
logat Cikini Raya yang melancong
sampai Surabaya
tak
pernah usai— membahasakan citra
bangsa,
mendaraskan kembali sila-sila negara mengusung tinggi-tinggi persatuan-kesatuan mengaram-tandaskan tengkar pun perselisihan.
—apa demikian
kemanunggalan baka?
satu-satunya upaya bagi kelanggengan,
bagi rahayu tubuh esa yang menghuni ragam patois
ialah asosiasi yang haram 'tuk daif terjerahak dilema abad,
perubahan peradaban yang berkongkalikong di era digital,
segenapnya mengabdi
pada tunggalnya retorika
: Bahasa Indonesia.
Vania Kharizma
Satriawan |
Solo, 8 November 2022.