Metamorfosis Virus
Sebuah majalah sains menampilkan
tayangan di lamannya. Tampilkan latar sebuah hamparan hutan luas, memparodikan
simpanse dan singa dengan masker di congornya. Saya tersenyum. Sepertinya virus
sudah melanda perkumpulan hewan. Namun, setelahnya senyum saya hilang, ada
fakta yang disembunyikan dalam balik masker.
Fakta memperlihatkan hewan-hewan yang
sudah ditampilkan tadi. Yang belum ada sentuhan editan. Tak ada tempelan masker
yang tutupi congor simpanse dan singa. Dan masker itu sebetulnya bukan banyolan
untuk membuat manusia tertawa. Penawar agar tak terlalu merasakan sebaran virus
dalam tubuh. Namun, masker di congor hewan-hewan, menutupi luka mereka.
Simpanse dan singa serempak penuh darah di mulutnya.
Video menghitam sesaat. Lantas beralih
menampilkan iklan sabun dengan adegan slow
motion: seorang perempuan jenjang menggosok betisnya, kulitnya basah dan
tampak buih menggunung.
Pengalihan itu tak membuat saya hanyut
dalam buih sabun. Ini bukan televisi yang suka sembunyikan kengerian dunia atau
tak sesuai pandangannya. Dan ini adalah siaran yang dinaungi embel-embel sains.
Artinya, singa yang sibuk mengunyah tulang hingga menembus mulutnya, bagian
dari proses ilmiah dan tak dirancang. Mengapa masih perlu sensor?
Saya rasa itu menyalahi kode etik
kenikmatan konsumen. Tak sesuai kesepakatan awal, yang menyatakan peringatan
tayangan ini berbahaya sebab tampilkan senyatanya kehidupan alam luas dan buas.
Dan saya setuju, memang tayangan ini saya cari. Sangat membantu dalam studi
saya. Namun, penyensoran terhadap darah singa seakan melukai keinginan
penonton. Tak sesuai kesepakatan awal. Bukankah kebuasan hewan sampai
berdarah-darah termasuk terms and
agreement diawal? Mengapa masih perlu sensor?
Maka, di tab baru ini, saya membuka
layanan yang disediakan majalah sains itu. Mencari kontak yang dapat tersambung
langsung pada siaran yang diputar. Tak sulit temukan nomornya, namun kesulitan
menyambungkan dengan nomor yang sudah saya pastikan tak keliru. Dalam benak
saya ini hal lumrah, mereka pasang dengan nomor perusahaan, bukan pribadi.
Pastilah dibiarkan berdering di lorong perusahaan dan mengganggu staf lain yang
sibuk.
Tak boleh disudahi pencarian saya hanya
sebab panggilan tak diangkat. Saya menuju kolom live chat di unggahan yang masih hangat ini. Beberapa komentar dari
orang lain sudah singgah, namun bahasan mereka terlalu lugu.
Ada apa ini?
Kenapa tiba-tiba mati?
Aku sudah
berlangganan yang platinum, lho… Kenapa juga kena iklan?
Gak apa perbaiki dulu. Aku
ngeri liat darah, gak etis juga. Kalo perlu dihitam putih atau diblur selayar
sekalian.
Lho…
Sungguh. Komentar-komentar mereka hanya
akan tenggelam dan tak memicu perdebatan. Tak mampu koreksi kesalahan majalah
sains yang melanggar aturannya sendiri. Membuat saya tergerak beri komentar
juga. Perlu saya pikirkan matang dan mulai mengetik di kolom komentar. Saya baca ulang. Menemukan
kata yang kurang cocok. Saya ganti. Saya baca lagi. Begitulah hingga setengah
jam larut. Dan selesai kalimat saya. Sekadar dua kalimat. Cukup menonjok.
Membuahkan saya tersenyum dan tak lupa memencet enter.
Saya suka
tayangan yang menyakitkan ini, tapi kenapa kalian menyudahi? Begitulah sains,
biarlah hewan-hewan menikmati prosesnya dan kita mencermati ulahnya.
Terlalu kejamkah kalimat saya? Atau
(kalimat) mereka yang terlalu baik? Jangan- jangan jika mereka, orang-orang
berkomentar baik, yang takut melihat hewan kesakitan, akan melakukan pemisahan
hewan-hewan yang sedang menjalankan rantainya. Memisah dengan melempar batu
kepada singa tengah mengigit paha kerbau yang sibuk melepas diri. Memukulkan
ranting ke ular yang berusaha melilit bayi rusa karena dianggap kekerasan anak
di bawah umur. Dan parahnya, jika ada kucing berhias kutu tersesat di hutan,
orang-orang baik akan membawa pulang. Mengutuki kutu dengan sabun dan sisir
khusus demi keelokan bulu kucing. Dan setelah itu? Menjadi sayang pada kucing,
tak rela melepas ke hutan lagi. Padahal, kucing sudah mengeong, merasa dirinya
tersesat. Ingin kembali ke alamnya.
Dan sekarang, earphone yang saya kenakan seperti ada ketukan pintu. Saya lepas
sesaat, dan benar: pintu rumah saya diketuk diikuti ngeongan kucing. Saya
mengalihkan mata dari layar dan berjalan ke suara ngeong. Saya buka pintu,
ngeongan semakin ganas dan ia mengendus kaki saya tanggalkan bulu rontok.
Sungguh saya kasihan padanya. Saya lihat sekeliling, ini perumahan, Bung! Hutan
ada di utara sana, sekiranya 135km dari ngeongan di sini. Tak sanggup saya
mengantar apalagi ini musim virus. Begini saja, saya izin ke dapur sebentar. Memungut
paha ayam semalam dan kembali kengeongan. Saya hantar ia ke jalan depan rumah,
kasihkan paha ayam dan ia berhenti meng-ngeong.
Selamat
melakukan perjalanan 135km setelah kenyang!
Saya tak bisa menunggui kucing sampai
hilang di tikungan gang. Segera saja tutup pintu dan cuci tangan. Kembali
tenggelam suara musik dari earphone dan
di hadapan laptop mata saya terbelalak mendapati komentar saya sungguh ramai
tanggapan. Tanggapan- tanggapan itu makin ke bawah, makin jelas membentuk dua
kubu. Katakanlah, antara kubu
orang-orang baik melawan kubu orang-orang jahat.
Tanggapan-tanggapan yang pro dengan komentar saya diserang habis-habisan oleh
kubu orang-orang baik. Terlalu kejamkah kalimat saya?
Setidaknya kekejaman saya, membuahkan
hasil. Satu surat bersarang pada email saya, tertulis pengirim adalah majalah
sains tersebut. Singkat kata, mereka terpancing komentar saya, entah sependapat
atau berseberangan. Mengajak saya live
report sebagai narasumber. Jika hendak, segera hubungi nomor tertera. Ini
nomor yang beda. Ah, mereka akan menguji kepakaran soal naluri hewan. Oke, saya
tertantang. Untuk kebaikan hidup hewan-hewan alam sesuai rantainya, saya
bersedia.
Secara cepat panggilan tersambung, suara
perempuan memanggil saya, inginkan saya tak hanya andil dalam suara, juga
rupa.Tayangan akan segera mulai lagi. Hewan-hewan tanpa masker, bertampang
tanpa dibuat-buat. Menandakan mereka benar-benar sepaham dengan komentar saya.
Tak lama, tayangan tersiar kembali. Terpampang muka saya, berbagi dengan
kondisi di sana. Lagi-lagi mata saya terbelalak, yang mana saya tadi
menginginkan hewan- hewan senyatanya, sederet fakta kali ini di luar bayangan
saya.
Simpanse yang menyimpan luka pada
mulutnya tadi, menyunggingkan mulut sambil berkaca pada air sungai. Sedang
tangannya sibuk memegang batu lonjong dan dirapatkan pada kaleng yang tertancap pada mulutnya. Ia
memoles perlahan dan membenahi posisi kaleng dirasa pas. Pada frame lain, singa tak mau kalah. Tulang
yang menancap—saya rasa tulang kerbau— pada mulutnya, ia gesek pada batu.
Memoles juga. Pada frame yang
bergantian, keduanya meneteskan darah dan tetap menyungging. Adakah kesenangan
baru dalam kesakitan mereka? Atau mereka selalu begitu menanggapi kesakitannya,
dalam hutan yang sebetulnya saya benar-benar tak tahu. Membinasakan kata-kata
saya dalam tayangan ini, yang berkaca atas komentar saya.
Saya benar-benar tak mampu berkata saat
perempuan narator meminta pendapat saya. Medadak kaleng dan tulang itu serasa
beralih mencabik mulut saya. Saya merasakan perihnya, nyerinya, juga bau amis
darah. Kaku lidah saya. Bibir menggigil. Saya kesakitan, keluarkan kata-kata
yang hanya menjadi erangan. Perempuan narator meminta kejelasan lebih lanjut dari komentar saya di laman. Saya
berpendapat. Yang keluar hanyalah erangan. Narator menanyakan ada apa dengan
saya? Saya menjawab. Namun, lagi-lagi yang terdengar hanyalah erangan. Ia terheran-heran. Saya pun
tak paham. Barangkali rasa sakit telah mengubah seluruh kata-kata menjadi
erangan. Perempuan narator tampak kesal karena saya terus-menerus mengerang. Meninggalkan saya dan beralih pada frame-frame
yang tunjukan
senyum
simpanse dan singa punya hiasan baru di mulut. Kaleng dan tulang mereka jadikan
tindik!
Sambungan telekomunikasi
terputus. Wajah saya lenyap dari layar.
“Mohon maaf, Pemirsa. Sepertinya ada
gangguan komunikasi. Kami akan berusaha menyambungkannya kembali dengan
narasumber.”
Layar beralih, memperlihatkan hamparan
maha luas. Diikuti suara narator pamit undur diri, serta meminta maaf atas
narasumber yang tak bersuara. Saya malu. Sebab, tak tahu pasti kehidupan
hewan-hewan lebih dekat. Dan sekarang, berharap hamparan maha luas ini
mengkerdilkan simpanse dan singa—terlihat dari kejauhan— agar mereka tampak
normal- normal saja.
2022