Sabtu, 19 November 2022

JUARA 2 CIPTA CERPEN BULAN BAHASA 2022


Tanah Kehidupan Baru

 

Langit abu-abu menyapa Rima yang sedang bergelut dengan pikirannya. Hatinya teduh, hanya tinggal menunggu waktu untuk melontarkan sang petir. Rasanya seperti mimpi buruk dan ia hanya ingin terbangun dari mimpi itu.

 

"Tak adil" ucap Rima sambil berdecak.

 

Kejadian ini merupakan kiamat kecil bagi keluarganya. Rima belum cukup ikhlas untuk meninggalkan kenangan di tanah kelahiran, rumah lamanya. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup, kini harus dirampas oleh keserakahan keluarganya.

 

"Teh dipanggil ibu," ucap Rina sambil menepuk bahu Rima

 

Rima terkejut dengan suara yang dilontarkan adiknya. Lalu, ia pun  mengangguk dan berjalan menelusuri rumah dengan menunjukkan topeng kehidupannya.

 

"Bu, ada apa?" tanya Rima kepada ibunya yang sedang merapihkan baju. "Baju kamu sudah dirapihkan, Teh? Baju Rina juga sudah?" tanya ibu. "Sudah rapih, Bu" jawab Rima.

Ibu tersenyum. "Nya atuh bagus. Besok kamu sekolah diantar sama bapak wéh

yaa. Ibu mau cari TK buat Rina di sekitar," tutur ibu. Rima mengangguk, "Nya, Bu."

Pagi pun tiba diiringi mentari yang menyambut kehidupan baru Rima. Rasanya enggan sekali untuk menginjakan kaki di sekolah baru. Ia tak bersemangat hari ini hingga tak ada senyuman manis di bibirnya.

 

"Aduhh si cantik kenapa kusut gitu mukanya?" tanya ayah.

 

" Yah, boleh ga si aku gak sekolah aja?" kata Rima.


"Eh kok ngomongnya gitu. Pendidikan itu penting, Teh. Teteh gamau direndahin untuk kedua kalinya, kan?” tanya ayah.

 

Rima merespon dengan menggelengkan kepala saja. "Tapi aku takut Yah, aku takut sulit beradaptasi dengan teman-teman baruku nanti,”tegas Rima.

 

“Apa yang kamu takutkan, Teh?”tanya ayah.

 

“Aku pasti kurang paham dengan bahasa obrolan mereka, Yah. Aku kan dari kampung, bahasa sunda pun aku cuma bisa dasarnya aja.” Rima menghela nafas.

 

Ayah tertawa. “Hahaha, cuma itu loh.”

 

“Gini loh, Teh. Bahasa di indonesia itu kan ada banyak sekali. Mengenal orang baru tuh sebuah kebanggaan untuk kita karna kita dapat mengenal hal baru yang tidak diajarkan di sekolah. Pasti temen kamu juga ngerti kok, jangan takut ya. Anak Ayah pemberani, kan.” Menatap Rima dengan memberikan semangat.

 

“Oke deh, Yah. Yuk berangkat.” Rima tersenyum ke arah ayah.

 

Setelah perbincangan yang dilakukan ayah bersama Rima selesai, mereka berpamitan dengan ibu dan adiknya yang sedang mengisi perut di meja makan.

 

Mereka tiba di sekolah, ayah pun mengantarkan Rima ke ruang guru untuk mengurus berkas yang tertinggal. Setelah itu, Rima diantarkan ke sekolah bersama wali kelasnya.

 

"Apakah harus dimulai dari awal lagi?” ucapnya dalam hati sambil memandangi setiap sudut sekolah.

 

Setibanya di ruang kelas, Rima memperkenalkan diri kepada teman-teman layaknya siswa baru. Mereka menyambut Rima dengan hangat. Tetapi, Rima selalu saja berpikir buruk terhadap lingkungan di sekitarnya.

 

“MashaAllah ayu tenan,” ucap salah satu murid lelaki di pojok kelas.


Semuanya bersorak ke arah lelaki itu.

 

Rima merasa bingung. “Namaku Rima bukan Ayu.”

 

Gemericik tawa dari anak-anak memenuhi ruang kelas. Rima terkesan malu. Ia belum mengerti tentang bahasa mereka karena di lingkungan sebelumnya menggunakan bahasa daerah setempat dan berbeda dengan bahasa di sini.

 

“Ayu yang dimaksud Dimas tuh bukan nama orang, Rim” ucap salah satu anak kelas.

 

“ Ya terus téh apa?”tanya Rima

 

“Itu artinya kamu cantik,” tutur Dimas.

 

Ibu Guru hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak muridnya. “Sudah-sudah. Anak-anak, Rima ini pindahan dari kampung tepatnya daerah Bogor. Jadi, Rima belum terbiasa dan mungkin terkejut dengan bahasa keseharian daerah kita. Nak Rima silakan duduk bersama dengan Nak Dina,”

 

“Baik, bu. Terima kasih,” sahut Rima.

 

Kemudian, kegiatan belajar mengajar pun berlangsung.

 

Dina mendekati Rima lalu tersenyum. “Rima, kamu jangan khawatir. Aku juga orang sunda kok.”

 

“Loh kamu sunda?” tanya Rima dengan terkejut Dina menganggukan kepala. “Muhun

“Ih seneng pisan” tutur Rima.

 

Rasanya lega ketika Rima menemukan kawan dengan bahasa daerah yang sama. Pikiran negatifnya mulai surut, ia berpikir jika mempunyai teman satu saja sudah cukup untuk dirinya.


Jam istirahat pun tiba, seluruh siswa beranjak meninggalkan kelas dan menuju kantin untuk menyantap camilan.”

 

“Kamu mau jajan, Rim?” tanya Dina

 

“Aku bawa bekal, Din” sahut Rima dengan menunjukkan bekalnya.

 

Dina beranjak dari tempat duduk dan bersiap menuju kantin. “Oh nya atuh. Dina ka kantin nya

 

“Nya din,” ucap Rima.

 

Elis menghampiri Rima. “Hai, Rima. Aku Elis, salam kenal.”

 

“Halo, Elis. Salam kenal kembali. Aku bawa nasi goreng buatan ibuku nih.

Kamu mau?” tutur Rima

 

“Terima kasih, aku juga bawa bekal kok. Kita makan bareng, yuk!” ajak Elis. Rima sangat senang. “Yuk”

Rima dan Elis menikmati makan siangnya. Ia bercerita layaknya teman yang sudah kenal begitu lama. Setelah makanan yang mereka makan sudah habis, teman-teman lainnya pun kembali ke kelas dengan membawa sisa jajanan yang mereka genggam.

 

Gita menghampiri Rima dan Elis. “Wah, Elis udah akrab nih sama anak baru.” “Rima anaknya asik banget loh,” tutur Elis

Gita berbisik, “Jangan lupain temen lama yo, Lis.” “ora,” sahut Elis.

“Biasanya kamu bawa gedhang aku mau minta dong,” pinta Gita Elis menyodorkan pisang kepada Gita, “Nih.”


“Loh ini gedhang? Ini tu pisang loh,” ujar Rima.

 

“loh ini gedhang kalo di bahasa Jawa. Gedhang itu pisang, Rim” jelas Elis. “Gedhang itu kalo di daerahku pepaya” ungkap Rima.

Mendengar perbincangan tersebut, Dina pun menghampiri Rima. “Iya, Rim. Memang betul kalo di sunda gedhang itu pepaya.”

 

“Kalau di kampungku Madura hampir sama dengan bahasa jawa yo, gheddâng

tu pisang” tutur Ainul.

 

“Kamu orang Madura?”tanya Rima.

 

Engko asli oreng madura” ucap Ainul dengan menggunakan bahasa Madura.

 

Rima   dan   teman-teman   lainnya   merasa bingung dengan ucapan yang diolontarkan Ainul.

 

“Artinya apa, Nul?” tanya Rima penasaran.

 

Ainul pun menjawab, “Artinya, aku asli orang Madura” “Ih pusing deh, beda bahasa pasti beda arti” cetus Gita.

Rima dan teman-temannya tak sadar jika bel istirahat sudah berakhir. Ibu Guru pun sudah memasuki ruang kelas dan mendengarkan perbincangan yang sedang dibicarakan oleh mereka. “Hayo, siapa yang mengajarkan seperti itu?”

 

“Maaf, Bu.” Lirih Gita.

 

Ibu Guru hanya menganggukan kepala dan memerintahkan siswa untuk duduk di tempatnya masing-masing.

 

“Anak-anak, keberagaman bahasa di Indonesia tu memang banyak sekali. Contohnya di kelas ini. Rima berasal dari suku Sunda, Ainul berasal dari Madura, dan teman-teman lainnya mungkin asli daerah sini. Rata-rata teman-


teman di kelas ini menggunakan bahasa jawa karna berasal dari daerah Jawa. Begitupun, Rima. Ia berasal dari Bogor dan tentunya menggunakan bahasa Sunda di kehidupan sehari-harinya,” terang Bu Guru.

 

“Jadi, kita sebagai warga negara Indonesia harus melestarikan bahasa daerah dan menghargai berbagai macam bahasa di Indonesia,” tuturnya.

 

Siswa terdiam menyerap perkataan yang disampaikan oleh bu guru di depan kelas. Kemudian, siswa kembali fokus dengan materi  pembelajaran selanjutnya.

 

"Baik, anak-anak. Kita lanjutkan materi yang kemarin, ya. Buka buku paket bahasa Indonesia halaman 32."

 

Siswa pun mengikuti arahan guru.

 

Tak terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi. Siswa berbondong-bondong meninggalkan ruang kelas. Terlihat Rima sedang menunggu dijemput oleh ayahnya.

 

"Rim, duluan yo" sapa Dina yang sedang melaju dengan sepedanya. "Iyaaa hati-hati," sahut Rima melambaikan tangan ke arah Dina.

Tak lama kemudian, ayah pun datang dengan motor tua yang selalu menemaninya.

 

"Bagaimana hari ini, nyonya?" tanya ayah dengan senyum manisnya sambil memberikan helm untuk anaknya.

 

"Iya atuh pasti," ucap Rima sembari menggunakan helm.

 

Sepanjang perjalanan Rima bercerita tentang hari ini. Ayah bagaikan rumah dan bisa menjadi payung. Ia selalu menjaga Rima dari terpaan jahatnya dunia dan menjadi tempat istirahat dikala lelahnya berproses.


"Seru kan, Yah. Jadi téh Rima teu cuma bisa bahasa sunda doang. Tapi, Rima ogé bisa belajar bahasa jawa ka si Elis jeung bisa belajar bahasa Madura ka Ainul," ucap Rima sambil membukakan helm di kepalanya. Ia tak henti- hentinya bercerita walaupun sudah sampai di rumahnya.

 

“Nah kan bener kata Ayah tadi pagi. Di kehidupan baru ini, kita tidak hanya bertemu dengan orang baru. Tapi, kita juga bisa mengenal lingkungan dan juga bahasanya. Kita bisa belajar hal baru di luar mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Jadi, Rima jangan takut kalau tidak mengerti bahasa teman-teman di sekolah. Ayah juga dulu kurang paham dengan bahasa sunda yang sering diucapkan oleh mamahmu,” terang ayah.

 

Rima tertawa mendengar cerita ayah. “Rima mau deh bisa keliling Indonesia, jadi Rima bisa tahu bahasa-bahasa daerah di Indonesia”

 

Ayah sangat terharu dengan semangatnya Rima. “Berarti Rima harus belajar biar pinter supaya cita-citanya tercapai”

 

“Aamiin” ucap Rima.

 

Rima sangat senang dengan keadaan ini, meskipun sebelumnya ia merasa cobaan ini merupakan badai untuk keluarganya dan selalu beranggapan akan gelap kehidupannya. Namun, kegelapan itu mampu diterangkan kembali bak matahari yang selalu menerangi bumi. Nyatanya, badai hanya sementara. Melalui kesabaran dan keikhlasan akan memberikan pelangi yang indah.

 

Rima mengerti bahwa kejadian yang menimpa keluarganya tidak selalu membawa keteduhan. Kehidupan yang baru pun tidak akan selalu buruk. Adaptasi memang sulit, tetapi akan lebih sulit jika bertahan dengan situasi yang selalu menyakitkan. Ia mencoba menerima semua hal yang terjadi di kehidupannya dan terus belajar di kehidupan barunya. Salah satu karunia yang ia dapatkan di lingkungan barunya yaitu mampu mengenal bahasa daerah dari setiap teman-temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar