Sabtu, 19 November 2022

JUARA 3 CIPTA CERPEN BULAN BAHASA 2022

 

Metamorfosis Virus

Sebuah majalah sains menampilkan tayangan di lamannya. Tampilkan latar sebuah hamparan hutan luas, memparodikan simpanse dan singa dengan masker di congornya. Saya tersenyum. Sepertinya virus sudah melanda perkumpulan hewan. Namun, setelahnya senyum saya hilang, ada fakta yang disembunyikan dalam balik masker.

Fakta memperlihatkan hewan-hewan yang sudah ditampilkan tadi. Yang belum ada sentuhan editan. Tak ada tempelan masker yang tutupi congor simpanse dan singa. Dan masker itu sebetulnya bukan banyolan untuk membuat manusia tertawa. Penawar agar tak terlalu merasakan sebaran virus dalam tubuh. Namun, masker di congor hewan-hewan, menutupi luka mereka. Simpanse dan singa serempak penuh darah di mulutnya.

Video menghitam sesaat. Lantas beralih menampilkan iklan sabun dengan adegan slow motion: seorang perempuan jenjang menggosok betisnya, kulitnya basah dan tampak buih menggunung.

Pengalihan itu tak membuat saya hanyut dalam buih sabun. Ini bukan televisi yang suka sembunyikan kengerian dunia atau tak sesuai pandangannya. Dan ini adalah siaran yang dinaungi embel-embel sains. Artinya, singa yang sibuk mengunyah tulang hingga menembus mulutnya, bagian dari proses ilmiah dan tak dirancang. Mengapa masih perlu sensor?

Saya rasa itu menyalahi kode etik kenikmatan konsumen. Tak sesuai kesepakatan awal, yang menyatakan peringatan tayangan ini berbahaya sebab tampilkan senyatanya kehidupan alam luas dan buas. Dan saya setuju, memang tayangan ini saya cari. Sangat membantu dalam studi saya. Namun, penyensoran terhadap darah singa seakan melukai keinginan penonton. Tak sesuai kesepakatan awal. Bukankah kebuasan hewan sampai berdarah-darah termasuk terms and agreement diawal? Mengapa masih perlu sensor?

Maka, di tab baru ini, saya membuka layanan yang disediakan majalah sains itu. Mencari kontak yang dapat tersambung langsung pada siaran yang diputar. Tak sulit temukan nomornya, namun kesulitan menyambungkan dengan nomor yang sudah saya pastikan tak keliru. Dalam benak saya ini hal lumrah, mereka pasang dengan nomor perusahaan, bukan pribadi. Pastilah dibiarkan berdering di lorong perusahaan dan mengganggu staf lain yang sibuk.

Tak boleh disudahi pencarian saya hanya sebab panggilan tak diangkat. Saya menuju kolom live chat di unggahan yang masih hangat ini. Beberapa komentar dari orang lain sudah singgah, namun bahasan mereka terlalu lugu.

Ada apa ini?

Kenapa tiba-tiba mati?


Aku sudah berlangganan yang platinum, lho… Kenapa juga kena iklan?

Gak apa perbaiki dulu. Aku ngeri liat darah, gak etis juga. Kalo perlu dihitam putih atau diblur selayar sekalian.

Lho…

Sungguh. Komentar-komentar mereka hanya akan tenggelam dan tak memicu perdebatan. Tak mampu koreksi kesalahan majalah sains yang melanggar aturannya sendiri. Membuat saya tergerak beri komentar juga. Perlu saya pikirkan matang dan mulai mengetik  di kolom komentar. Saya baca ulang. Menemukan kata yang kurang cocok. Saya ganti. Saya baca lagi. Begitulah hingga setengah jam larut. Dan selesai kalimat saya. Sekadar dua kalimat. Cukup menonjok. Membuahkan saya tersenyum dan tak lupa memencet enter.

Saya suka tayangan yang menyakitkan ini, tapi kenapa kalian menyudahi? Begitulah sains, biarlah hewan-hewan menikmati prosesnya dan kita mencermati ulahnya.

Terlalu kejamkah kalimat saya? Atau (kalimat) mereka yang terlalu baik? Jangan- jangan jika mereka, orang-orang berkomentar baik, yang takut melihat hewan kesakitan, akan melakukan pemisahan hewan-hewan yang sedang menjalankan rantainya. Memisah dengan melempar batu kepada singa tengah mengigit paha kerbau yang sibuk melepas diri. Memukulkan ranting ke ular yang berusaha melilit bayi rusa karena dianggap kekerasan anak di bawah umur. Dan parahnya, jika ada kucing berhias kutu tersesat di hutan, orang-orang baik akan membawa pulang. Mengutuki kutu dengan sabun dan sisir khusus demi keelokan bulu kucing. Dan setelah itu? Menjadi sayang pada kucing, tak rela melepas ke hutan lagi. Padahal, kucing sudah mengeong, merasa dirinya tersesat. Ingin kembali ke alamnya.

Dan sekarang, earphone yang saya kenakan seperti ada ketukan pintu. Saya lepas sesaat, dan benar: pintu rumah saya diketuk diikuti ngeongan kucing. Saya mengalihkan mata dari layar dan berjalan ke suara ngeong. Saya buka pintu, ngeongan semakin ganas dan ia mengendus kaki saya tanggalkan bulu rontok. Sungguh saya kasihan padanya. Saya lihat sekeliling, ini perumahan, Bung! Hutan ada di utara sana, sekiranya 135km dari ngeongan di sini. Tak sanggup saya mengantar apalagi ini musim virus. Begini saja, saya izin ke dapur sebentar. Memungut paha ayam semalam dan kembali kengeongan. Saya hantar ia ke jalan depan rumah, kasihkan paha ayam dan ia berhenti meng-ngeong.

Selamat melakukan perjalanan 135km setelah kenyang!

Saya tak bisa menunggui kucing sampai hilang di tikungan gang. Segera saja tutup pintu dan cuci tangan. Kembali tenggelam suara musik dari earphone dan di hadapan laptop mata saya terbelalak mendapati komentar saya sungguh ramai tanggapan. Tanggapan- tanggapan itu makin ke bawah, makin jelas membentuk dua kubu. Katakanlah, antara kubu


orang-orang baik melawan kubu orang-orang jahat. Tanggapan-tanggapan yang pro dengan komentar saya diserang habis-habisan oleh kubu orang-orang baik. Terlalu kejamkah kalimat saya?

Setidaknya kekejaman saya, membuahkan hasil. Satu surat bersarang pada email saya, tertulis pengirim adalah majalah sains tersebut. Singkat kata, mereka terpancing komentar saya, entah sependapat atau berseberangan. Mengajak saya live report sebagai narasumber. Jika hendak, segera hubungi nomor tertera. Ini nomor yang beda. Ah, mereka akan menguji kepakaran soal naluri hewan. Oke, saya tertantang. Untuk kebaikan hidup hewan-hewan alam sesuai rantainya, saya bersedia.

Secara cepat panggilan tersambung, suara perempuan memanggil saya, inginkan saya tak hanya andil dalam suara, juga rupa.Tayangan akan segera mulai lagi. Hewan-hewan tanpa masker, bertampang tanpa dibuat-buat. Menandakan mereka benar-benar sepaham dengan komentar saya. Tak lama, tayangan tersiar kembali. Terpampang muka saya, berbagi dengan kondisi di sana. Lagi-lagi mata saya terbelalak, yang mana saya tadi menginginkan hewan- hewan senyatanya, sederet fakta kali ini di luar bayangan saya.

Simpanse yang menyimpan luka pada mulutnya tadi, menyunggingkan mulut sambil berkaca pada air sungai. Sedang tangannya sibuk memegang batu lonjong dan dirapatkan  pada kaleng yang tertancap pada mulutnya. Ia memoles perlahan dan membenahi posisi kaleng dirasa pas. Pada frame lain, singa tak mau kalah. Tulang yang menancap—saya rasa tulang kerbau— pada mulutnya, ia gesek pada batu. Memoles juga. Pada frame yang bergantian, keduanya meneteskan darah dan tetap menyungging. Adakah kesenangan baru dalam kesakitan mereka? Atau mereka selalu begitu menanggapi kesakitannya, dalam hutan yang sebetulnya saya benar-benar tak tahu. Membinasakan kata-kata saya dalam tayangan ini, yang berkaca atas komentar saya.

Saya benar-benar tak mampu berkata saat perempuan narator meminta pendapat saya. Medadak kaleng dan tulang itu serasa beralih mencabik mulut saya. Saya merasakan perihnya, nyerinya, juga bau amis darah. Kaku lidah saya. Bibir menggigil. Saya kesakitan, keluarkan kata-kata yang hanya menjadi erangan. Perempuan narator meminta kejelasan lebih  lanjut dari komentar saya di laman. Saya berpendapat. Yang keluar hanyalah erangan. Narator menanyakan ada apa dengan saya? Saya menjawab. Namun, lagi-lagi yang terdengar  hanyalah erangan. Ia terheran-heran. Saya pun tak paham. Barangkali rasa sakit telah mengubah seluruh kata-kata menjadi erangan. Perempuan narator tampak kesal karena saya terus-menerus mengerang. Meninggalkan saya dan beralih pada frame-frame yang tunjukan


senyum simpanse dan singa punya hiasan baru di mulut. Kaleng dan tulang mereka jadikan tindik!

Sambungan telekomunikasi terputus. Wajah saya lenyap dari layar.

“Mohon maaf, Pemirsa. Sepertinya ada gangguan komunikasi. Kami akan berusaha menyambungkannya kembali dengan narasumber.”

Layar beralih, memperlihatkan hamparan maha luas. Diikuti suara narator pamit undur diri, serta meminta maaf atas narasumber yang tak bersuara. Saya malu. Sebab, tak tahu pasti kehidupan hewan-hewan lebih dekat. Dan sekarang, berharap hamparan maha luas ini mengkerdilkan simpanse dan singa—terlihat dari kejauhan— agar mereka tampak normal- normal saja.

 

2022


Tidak ada komentar:

Posting Komentar