Sabtu, 19 November 2022

JUARA 1 CIPTA CERPEN BULAN BAHASA 2022

 

PAK AGUS DAN SEPANJANG JALAN BANGUNAN-BANGUNAN TUA PENINGGALAN BELANDA

;era kekinian tidak kekurangan ragam bahasa, ia hanya perlu merawat sebaik-baiknya.

 

Oleh Muammanah Fauzi*

 

Sudah hampir pukul sepuluh malam, buku-buku di keranjang sepedanya tidak ada yang membaca. Tempat ini telah menjebak Pak Agus dalam nasib yang tidak beruntung. Tempat terburuk dari pusat kota. Sampah dan pengemis berserakan di jalanan. Putung rokok dan pelacur bertebaran di trotoar. Anak-anak gelandangan yang dipaksa beraut wajah menyedihkan sudah terlihat mabuk dengan kemiskinan. Di depanku, seorang preman pasar melangkah sempoyongan dengan celana komprang yang hampir kedodoran, sambil mengepal uang sekitar tujuh belas ribu di tangannya, ia melewati pak Agus yang masih sabar menunggu pelanggan. Saya mengawasi langkahnya sampai ia berbelok ke lorong yang memanjang diantara gedung-gedung tua peninggalan Belanda, tempat para pelacur memajang diri menunggu jam sewa mereka. Tapi mala mini benar-benar sepi. Malam minggu tidak seramai malam-malam lembur seperti biasanya. Para pekerja kantoran lebih memilih liburan bersama keluarga saat minggu tiba daripada mampir ke tempat ini, menggeniti pelacur seksi. Jadi hanya ada satu dua pelacur yang masih siaga di remang-remang lampu. Saya habiskan kopi saya di warkop pojok tempat ini. Saya mampiri pak Agus diseberang jalan dengan membawakannya kopi susu hangat.

“Permisi, pak, saya mau baca bukunya A.S Laksana, pak”. Sapaku sambil menjulurkan kopi yang tadi saya beli ke arah pak Agus. Saya mengambil tempat duduk yang nyaman di trotoar, tepat disamping pak Agus dan sepeda ontelnya.

Nggeh, nak. Pak Agus carikan sebentar ya. Kota tanpa kelamin, kan?” Nggeh, pak. Benar.”

Sebenarnya memang dari dulu saya sangat menggemari karya-karya sastrawan besar bung A.S Laksana ini. Selain mengandung sastra yang renyah, kritik sosial dengan paduan alur cerita yang tidak dimiliki sastrawan lain, mampu membaca dan memekai keadaan sosial secara nyata, saya juga banyak mendapatkan kosa kata bahasa yang asik dibaca. Cerpen-cerpen AS Laksana seperti sihir yang menghadirkan sesuatu


yang tak terduga-duga, yang kemudian meninggalkanmu dengan bibir melongo berlama-lama. Saya juga pelanggan dan pembaca buku-buku dari lapaknya pak Agus. Meski setiap buku hanya dijatahi seharga seribu rupiah dalam 1 kali duduk oleh pak Agus, saya sering memberi lebih kepada beliau, hitung-hitung ongkos terimakasih saya karena beliau masih terus berjuang menebar kebaikan dan pengetahuan. Ditambah daritadi saya lihat, pak Agus tidak ada pengunjung, saya kasih ongkos makan, mumpung rejeki saya lebih. Namun tujuan awal saya kesini sebenarnya bukan untuk membaca buku-bukunya pak Agus, melainkan karena saya ingin mengobrol seputar kehidupan beliau yang telah memilih bekerja di tempat seperti ini, tempat yang orang- orangnya pura-pura lupa akan ada neraka esok hari. Lelaki itu duduk disampingku. Wajahnya keriput dan pucat dan sangat tua. Sembari menyeruput kopi yang saya bawakan, pak Agus memulai pembicaraan.

“Sampeyan ga bosen, nak baca buku disini?”

 

“Waduh pak Agus, saya malah senang baca buku sembari diskusi sama pakarnya langsung begini..”. Pak Agus terkikik. Gigi-giginya yang sudah banyak hilang dimakan usia, membuat pak Agus semakin terlihat tidak berdaya. Orang tua seperti pak Agus seharusnya sudah berdiam dan istirahat di rumah, menikmati waktu senjanya bersama keluarga, bermain bersama cucu-cucunya. Namun kehidupan seperti itu tidak pernah ada di tempat seperti ini. Siapa yang menganggur, dia yang akan kalah dan dicap tidak bertanggung jawab akan hidupnya. Makanya, semua orang di tempat ini giat bekerja, meski harus menghalalkan segala cara, semata-mata untuk bernapas lebih lama.

Pak Agus sudah berumur 86 tahun, beliau seumuran dengan Chairil Anwar, penyair ternama Indonesia itu. Oleh karena itu, pak Agus sudah sangat fasih tentang perkembangan sastra dari tahun ke tahun. Meski sudah berumur dan terkadang pikun, pak Agus adalah sesosok panutan dalam urusan mengingat perjuangan sastrawan Indonesia, pak Agus senang menceritakan ulang novel-novel Pramoedya Ananta Toer dengan perbandingan kejadian aslinya dahulu. Pak Agus pernah kena semprot orang- orang Belanda berkali-berkali karena membagi pengetahuan kepada teman-teman seperjuangannya. Hal itu dianggap membuat masyarakat pribumi malas bekerja untuk Belanda, sehingga tak jarang pak Agus dan teman-temannya dipukuli. Pak Agus adalah pahlawan baca yang hidup sampai sekarang. Sayangnya, nasib beliau selalu tidak


seberuntung orang lain sejak 86 tahun yang lalu. Setelah Indonesia merdeka, Pak Agus pindah ke Jakarta, guna mencari kerja yang lebih layak. Namun naas, pak Agus jadi korban penipuan dari rekan kerjanya sendiri disana. Barangkali Semarang akan menjadi nasib yang baik, Pak Agus mencoba mengundi nasib disana. Sayangnya, setelah 14 tahun bekerja, pabrik tempat pak Agus bekerja mengalami kebakaran dan kerugian besar-besaran sehingga semua pegawai pabrik itu di PHK paksa. Apalah daya kalau sudah takdir, Pak Agus pasrah dan harus tetap menjalani hidup. Kemudian pak Agus pindah ke Sumatera, disanalah dia dipertemukan dengan kekasih hatinya, penjual nasi Padang yang cantik jelita dan sopan menarik hati. Pak Agus melabuhkan hati dan menikahinya. Sayangnya, kehidupan mereka tidak mudah, dililit hutang sana sini membuat Sunarsih, diam-diam meninggalkan Pak Agus dan menikah lagi. Entah sekarang Sunarsih bahagia dan telah melupakan pak Agus, atau malah tidak bisa lepas dari nasib hutang seperti rumah tangganya dulu yang jelas, Pak Agus sudah ikhlas.

Kemudian pak Agus pindah ke tempaat ini, menjadi lapak baca keliling sampai sekarang.

“Sejak tahun 1998-2008, masih banyak yang baca buku pak Agus ini, sehari bisa lima puluh ribu. Kalau sekarang, dapat satu pembaca saja saya sudah bersyukur”. Kata pak Agus dengan suara yang sudah ngos-ngosan.

“Mungkin karena sekarang sudah serba digital, pak. Jadi anak-anak bisa baca buku dengan mengakses internet”

“Iya bapak dengar-dengar juga emang karena itu. Bapak tidak punya telefon, makanya tidak tahu.”

“bapak kenapa memilih buku-buku sastra pak yang disediakan di lapak pak

Agus?”

 

“Karena saya senang dengan sastra, le. Sastra adalah pertunjukan dari seniman- seniman kita mengolah bahasa, dari bahasa Indonesia, sampai bahasa derahnya mereka. Pak Agus kepingin jadi sastrawan tapi ga kesampean…” Pak Agus menghela napas, sambil menyeruput kopinya. Saya mengangguk-angguk mengerti. Kemudian pak Agus menepuk bahu, melanjutkan “…Generasi-generasi sampeyanlah yang harus lebih melek sastra. Merawat kekayaan bahasa daerah. Apalagi sekarang sudah ada internet toh kata sampeyan tadi? Makin canggih, manfaatkan itu. Anak-anak harus dikenalkan


dengan sastra dan buku-buku, nak. Karena belajar sastra mendukung intelektual mereka, imajinasi, karakter dan perilaku santun anak. Pak Agus lihat sekarang anak muda yang berkata-kata halus sudah jarang. Lebih banyak yang senang berbicara sarkastis daripada puitis. Sastra sudah jarang ditemui, nak. Saat anak-anak kehilangan sastra, mereka akan kehilangan budinya berbahasa”

“Tapi kenapa pak Agus memilih tempat ini? Kan pak Agus bisa mengajar di sekolah?”, saya sadar pertanyaan ini lancang diajukan kepada pak Agus, tapi rasa penasaran saya mendesak untuk diutarakan langsung kepada beliau.

“Di sekolah, adalah tempat orang-orang yang mampu membayar pendidikan. Disini, jangankan membayar pendidikan, membayar nasi saja kesusahan, apalagi sampai membaca buku, belajar sastra. Orang susah seperti kami, kehilangan segalanya jika tidak mencari, nak”

“Tapi kalau disini siapa yang membaca, pak? Saya lihat bapak sepi pelanggan?”

 

“Ada, tapi mereka lupa bayar. Tidak apa-apa. Terkadang pelacur-pelacurlah yang senang membaca. Mereka belajar sastra untuk menyenangkan pelanggannya.. “ Pak Agus tertawa geli, “… saya jadi mikir, semoga mahasiswa-mahasiswa tidak kalah dengan pelacur-pelacur itu. Mereka saja belajar sastra untuk menyenangkan pelanggan haramnya. Masa mahasiswa enggan mempelajari sastra karena malas, padahal uda bayar mahal, halal pula.”

Saya tertampar dengan perbandingan pak Agus. Melihat banyaknya kesempatan emas belajar yang disia-siakan kaum ber-uang untuk kuliah, memang menyakitkan sekali. Pak Agus memang tidak berpendidikan tinggi, namun beliau sangat peduli tentang perkembangan sastra di masa setelahnya kelak.

“Terkadang juga anak-anak gelandangan itu yang baca. Mereka bilang ingin sekolah, tapi kesempatan emas tidak ikut lahir bersamaan dengan lahirnya mereka. Sastra dan buku bukan segalanya, nak. Tetapi segalanya bisa berawal dari sana. Pak Agus titip sastra di tangan sampeyan, nak”

“Kapan-kapan kita jalan-jalan ya, pak?” “Kemana?”

“Ke Perpustakaan Nasional.”


“Pak Agus harus kerja”

 

“Jangan dipikirin, pak Agus. Pak Agus Istirahat, sudah larut pak. Esok saya kembali”

***

 

Setelah kepindahan dinas saya ke Bandung, saya kangen berdiskusi dengan beliau. Tentu saja poercakapan-percakapan dengan pak Agus setahun lalu masih jelas di kepala. Karena pak Agus, saya sepakat dengan istri untuk menguliahkan anak-anak kami di Fakultas kesusasteraan. Saya akan mengunjungi pak Agus, untuk memenuhi janji saya waktu itu untuk mengajaknya ke perpustakaan nasional. Saya menurunkan jendela mobil, diluar gerimis menambah suasana sendu tempat ini. Wangi parfum bertebaran di sepanjang jalan, aroma mawar yang paling tercium. Saya kira pelacur- pelacur itu telah pensiun dan bertaubat, ternyata mereka masih belum menemukan “suami sejatinya”. Mereka menggoda saya, mereka mengira saya lagi mencari perempuan cantik diantara mereka, padahal saya ingin menanyakan pak Agus. Di seberang jalan warkop pojok, pak Agus tidak kelihatan menjajahkan bukunya.

“Maaf mbak, saya mau tanya alamatnya pak Agus, tukang lapak baca keliling seberang jalan sana?” sembari menunjuk arah warkop, saya memilih kata-kata yang sopan dan berhati-hati

“Oh si pahlawan baca itu, mas?” “Aaaa, iya benar. Si pahlawan baca”

“Beliau sudah istirahat, mas. Kata beliau, kalau ada orang datang mencarinya, untuk mengajak ke perpustakaan nasional, suruh ajak kami saja”

Dada saya memanas, tangan saya gemetar, saya terlambat. Pak Agus si pahlawan baca di tempat ini telah beristirahat dengan tenang. Pak Agus, engkau kekal di ingatan kami, di ingatan perempuan-perempuan nakal yang menggemari sastra ini. Semoga engkau dalam kehidupan selanjutnya yang lebih layak, bapak pahlawan baca kami.

“Oh iya, besok ajak teman-teman sampeyan berbusana yang sopan ya mbak, kita ke perpustakaan nasional”


Tiba-tiba sepanjang jalan diantara gedung-gedung tua peninggalan Belanda itu ramai dipenuhi sorak-sorai, pelacur-pelacur itu senang besok akan ke kota, mempelajari sastra. Pak Agus, telah abadi di ingatan mereka.


Surabaya, 08 November 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar