PAK AGUS DAN SEPANJANG
JALAN BANGUNAN-BANGUNAN TUA PENINGGALAN BELANDA
;era kekinian tidak kekurangan
ragam bahasa, ia hanya perlu merawat sebaik-baiknya.
Oleh Muammanah Fauzi*
Sudah hampir pukul sepuluh malam, buku-buku di keranjang
sepedanya tidak ada yang membaca.
Tempat ini telah menjebak Pak Agus dalam nasib yang tidak beruntung. Tempat terburuk dari pusat
kota. Sampah dan pengemis berserakan di jalanan.
Putung rokok dan pelacur bertebaran di trotoar. Anak-anak gelandangan yang dipaksa
beraut wajah menyedihkan sudah terlihat mabuk dengan kemiskinan. Di depanku, seorang
preman pasar melangkah sempoyongan dengan celana komprang yang hampir kedodoran, sambil mengepal
uang sekitar tujuh belas ribu di tangannya, ia melewati
pak Agus yang masih sabar menunggu pelanggan. Saya mengawasi langkahnya sampai ia berbelok
ke lorong yang memanjang diantara
gedung-gedung tua peninggalan Belanda, tempat para pelacur memajang
diri menunggu jam sewa mereka.
Tapi mala mini benar-benar sepi. Malam minggu tidak seramai malam-malam
lembur seperti biasanya. Para pekerja
kantoran lebih memilih liburan bersama keluarga saat minggu tiba daripada mampir ke tempat ini, menggeniti pelacur
seksi. Jadi hanya ada satu dua
pelacur yang masih siaga di remang-remang lampu. Saya habiskan kopi saya di warkop pojok tempat ini. Saya mampiri
pak Agus diseberang jalan dengan membawakannya kopi susu hangat.
“Permisi, pak, saya mau baca bukunya A.S Laksana, pak”.
Sapaku sambil menjulurkan kopi yang tadi saya beli ke arah pak Agus. Saya mengambil tempat duduk yang
nyaman di trotoar, tepat disamping pak Agus dan sepeda
ontelnya.
“Nggeh, nak. Pak
Agus carikan sebentar ya. Kota tanpa
kelamin, kan?” “Nggeh, pak. Benar.”
Sebenarnya memang dari dulu saya sangat menggemari
karya-karya sastrawan besar bung
A.S Laksana ini. Selain mengandung sastra yang renyah, kritik sosial dengan paduan alur cerita yang tidak
dimiliki sastrawan lain, mampu membaca dan memekai keadaan
sosial secara nyata,
saya juga banyak mendapatkan kosa kata bahasa
yang asik dibaca. Cerpen-cerpen AS Laksana seperti sihir yang menghadirkan
sesuatu
yang tak terduga-duga, yang kemudian meninggalkanmu dengan bibir melongo
berlama-lama. Saya juga pelanggan dan pembaca buku-buku dari lapaknya
pak Agus. Meski setiap buku hanya
dijatahi seharga seribu rupiah dalam 1 kali duduk oleh pak Agus, saya sering
memberi lebih kepada beliau, hitung-hitung ongkos terimakasih saya karena
beliau masih terus berjuang menebar kebaikan dan pengetahuan. Ditambah daritadi
saya lihat, pak Agus tidak ada pengunjung, saya kasih ongkos makan, mumpung rejeki saya lebih. Namun tujuan
awal saya kesini sebenarnya bukan untuk membaca
buku-bukunya pak Agus, melainkan karena saya ingin mengobrol seputar kehidupan beliau yang telah memilih
bekerja di tempat seperti ini, tempat yang orang- orangnya pura-pura lupa akan ada neraka esok hari. Lelaki itu
duduk disampingku. Wajahnya keriput
dan pucat dan sangat tua. Sembari menyeruput kopi yang saya bawakan,
pak Agus memulai pembicaraan.
“Sampeyan ga bosen, nak baca buku disini?”
“Waduh pak Agus, saya malah senang baca buku sembari
diskusi sama pakarnya langsung
begini..”. Pak Agus terkikik.
Gigi-giginya yang sudah banyak hilang
dimakan usia, membuat
pak Agus semakin
terlihat tidak berdaya.
Orang tua seperti
pak Agus seharusnya sudah
berdiam dan istirahat di rumah, menikmati waktu senjanya bersama keluarga, bermain bersama cucu-cucunya. Namun kehidupan
seperti itu tidak pernah ada di tempat seperti
ini. Siapa yang menganggur, dia yang akan kalah dan dicap tidak bertanggung jawab akan hidupnya.
Makanya, semua orang di tempat ini giat bekerja,
meski harus menghalalkan segala cara, semata-mata untuk bernapas lebih lama.
Pak Agus sudah berumur 86 tahun, beliau seumuran dengan
Chairil Anwar, penyair ternama
Indonesia itu. Oleh karena itu, pak Agus sudah sangat fasih tentang perkembangan sastra dari tahun ke tahun.
Meski sudah berumur dan terkadang pikun, pak
Agus adalah sesosok panutan dalam urusan
mengingat perjuangan sastrawan Indonesia, pak Agus senang menceritakan
ulang novel-novel Pramoedya Ananta Toer dengan
perbandingan kejadian aslinya dahulu. Pak Agus pernah kena semprot orang- orang Belanda berkali-berkali karena membagi pengetahuan kepada teman-teman seperjuangannya. Hal itu dianggap
membuat masyarakat pribumi malas bekerja untuk
Belanda, sehingga tak jarang pak Agus dan teman-temannya dipukuli.
Pak Agus adalah
pahlawan baca yang hidup sampai
sekarang. Sayangnya, nasib beliau selalu tidak
seberuntung orang lain sejak 86 tahun yang lalu. Setelah Indonesia
merdeka, Pak Agus
pindah ke Jakarta, guna mencari kerja yang lebih layak. Namun naas, pak
Agus jadi korban penipuan
dari rekan kerjanya
sendiri disana. Barangkali Semarang akan menjadi
nasib yang baik, Pak Agus mencoba mengundi nasib disana. Sayangnya,
setelah 14 tahun bekerja, pabrik
tempat pak Agus bekerja mengalami kebakaran dan kerugian besar-besaran sehingga semua pegawai pabrik itu di PHK paksa.
Apalah daya kalau sudah takdir, Pak Agus
pasrah dan harus tetap menjalani hidup. Kemudian pak Agus pindah ke Sumatera, disanalah dia
dipertemukan dengan kekasih hatinya, penjual nasi Padang yang cantik jelita dan sopan menarik hati. Pak Agus
melabuhkan hati dan menikahinya.
Sayangnya, kehidupan mereka tidak mudah, dililit hutang sana sini membuat
Sunarsih, diam-diam meninggalkan Pak Agus dan menikah lagi. Entah sekarang Sunarsih bahagia dan telah
melupakan pak Agus, atau malah tidak bisa lepas dari nasib hutang
seperti rumah tangganya dulu yang jelas,
Pak Agus sudah
ikhlas.
Kemudian pak Agus pindah ke tempaat ini, menjadi lapak baca keliling
sampai sekarang.
“Sejak tahun 1998-2008, masih banyak yang baca buku pak
Agus ini, sehari bisa lima puluh
ribu. Kalau sekarang, dapat satu pembaca saja saya sudah bersyukur”. Kata pak Agus dengan suara yang
sudah ngos-ngosan.
“Mungkin karena sekarang sudah serba digital, pak. Jadi
anak-anak bisa baca buku dengan mengakses internet”
“Iya bapak dengar-dengar juga emang karena itu. Bapak tidak
punya telefon, makanya tidak
tahu.”
“bapak kenapa memilih
buku-buku sastra pak yang disediakan di lapak pak
Agus?”
“Karena saya senang
dengan sastra, le. Sastra
adalah pertunjukan dari seniman- seniman kita mengolah bahasa, dari bahasa Indonesia, sampai bahasa derahnya
mereka. Pak Agus kepingin
jadi sastrawan tapi ga kesampean…”
Pak Agus menghela napas, sambil menyeruput kopinya. Saya mengangguk-angguk mengerti. Kemudian pak Agus menepuk
bahu, melanjutkan “…Generasi-generasi sampeyanlah yang harus lebih melek sastra. Merawat kekayaan bahasa
daerah. Apalagi sekarang sudah ada internet toh kata sampeyan
tadi? Makin canggih,
manfaatkan itu. Anak-anak
harus dikenalkan
dengan sastra dan buku-buku, nak. Karena belajar
sastra mendukung intelektual mereka, imajinasi, karakter dan perilaku santun anak. Pak Agus
lihat sekarang anak muda yang
berkata-kata halus sudah jarang. Lebih banyak yang senang berbicara sarkastis daripada puitis. Sastra sudah
jarang ditemui, nak. Saat anak-anak kehilangan
sastra, mereka akan kehilangan budinya berbahasa”
“Tapi kenapa pak Agus memilih tempat ini? Kan pak Agus bisa
mengajar di sekolah?”, saya sadar
pertanyaan ini lancang diajukan kepada pak Agus, tapi rasa penasaran
saya mendesak untuk diutarakan langsung kepada beliau.
“Di sekolah, adalah tempat orang-orang yang mampu membayar
pendidikan. Disini, jangankan
membayar pendidikan, membayar
nasi saja kesusahan, apalagi sampai membaca
buku, belajar sastra. Orang susah seperti kami, kehilangan segalanya jika tidak mencari, nak”
“Tapi kalau disini siapa yang membaca,
pak? Saya lihat bapak sepi pelanggan?”
“Ada, tapi mereka lupa bayar. Tidak apa-apa. Terkadang
pelacur-pelacurlah yang senang
membaca. Mereka belajar sastra untuk menyenangkan pelanggannya.. “ Pak Agus tertawa geli, “… saya jadi mikir,
semoga mahasiswa-mahasiswa tidak kalah dengan pelacur-pelacur itu. Mereka saja belajar sastra
untuk menyenangkan pelanggan
haramnya. Masa mahasiswa enggan mempelajari sastra karena malas, padahal
uda bayar mahal, halal pula.”
Saya tertampar dengan perbandingan pak Agus. Melihat banyaknya
kesempatan emas belajar yang
disia-siakan kaum ber-uang untuk kuliah, memang menyakitkan sekali. Pak Agus memang tidak
berpendidikan tinggi, namun beliau sangat peduli tentang perkembangan
sastra di masa setelahnya kelak.
“Terkadang juga anak-anak gelandangan itu yang baca. Mereka
bilang ingin sekolah, tapi kesempatan
emas tidak ikut lahir bersamaan dengan lahirnya mereka. Sastra dan buku bukan segalanya, nak. Tetapi segalanya bisa
berawal dari sana. Pak Agus titip sastra di tangan sampeyan,
nak”
“Kapan-kapan
kita jalan-jalan ya, pak?” “Kemana?”
“Ke Perpustakaan Nasional.”
“Pak Agus harus kerja”
“Jangan dipikirin, pak Agus. Pak Agus Istirahat, sudah larut pak. Esok saya
kembali”
***
Setelah kepindahan dinas saya ke Bandung, saya kangen
berdiskusi dengan beliau. Tentu saja
poercakapan-percakapan dengan pak Agus setahun lalu masih jelas di kepala. Karena pak Agus, saya sepakat
dengan istri untuk menguliahkan anak-anak kami
di Fakultas kesusasteraan. Saya akan mengunjungi pak Agus, untuk memenuhi janji saya waktu itu untuk mengajaknya ke
perpustakaan nasional. Saya menurunkan jendela
mobil, diluar gerimis menambah suasana sendu tempat ini. Wangi parfum bertebaran di sepanjang jalan, aroma mawar
yang paling tercium. Saya kira pelacur- pelacur
itu telah pensiun dan bertaubat, ternyata mereka masih belum menemukan “suami sejatinya”. Mereka menggoda saya, mereka mengira
saya lagi mencari
perempuan cantik diantara mereka, padahal saya ingin menanyakan pak
Agus. Di seberang jalan
warkop pojok, pak Agus tidak kelihatan menjajahkan bukunya.
“Maaf mbak, saya mau tanya alamatnya pak Agus, tukang lapak
baca keliling seberang jalan sana?”
sembari menunjuk arah warkop, saya memilih kata-kata yang sopan dan
berhati-hati
“Oh
si pahlawan baca itu, mas?” “Aaaa, iya benar. Si pahlawan baca”
“Beliau sudah istirahat, mas. Kata beliau, kalau ada orang
datang mencarinya, untuk mengajak ke perpustakaan nasional, suruh ajak kami saja”
Dada saya memanas,
tangan saya gemetar,
saya terlambat. Pak Agus si pahlawan
baca di tempat ini telah beristirahat dengan tenang. Pak Agus, engkau kekal di ingatan kami, di ingatan
perempuan-perempuan nakal yang menggemari sastra ini. Semoga engkau dalam kehidupan selanjutnya yang lebih layak,
bapak pahlawan baca kami.
“Oh iya, besok ajak teman-teman sampeyan berbusana yang
sopan ya mbak, kita ke perpustakaan nasional”
Tiba-tiba sepanjang jalan diantara gedung-gedung tua
peninggalan Belanda itu ramai dipenuhi
sorak-sorai, pelacur-pelacur itu senang besok akan ke kota, mempelajari sastra. Pak Agus,
telah abadi di ingatan mereka.
Surabaya, 08 November 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar