HIMADIKSATRASIA
Selasa, 04 Juli 2023
Sabtu, 19 November 2022
JUARA 3 CIPTA CERPEN BULAN BAHASA 2022
Metamorfosis Virus
Sebuah majalah sains menampilkan
tayangan di lamannya. Tampilkan latar sebuah hamparan hutan luas, memparodikan
simpanse dan singa dengan masker di congornya. Saya tersenyum. Sepertinya virus
sudah melanda perkumpulan hewan. Namun, setelahnya senyum saya hilang, ada
fakta yang disembunyikan dalam balik masker.
Fakta memperlihatkan hewan-hewan yang
sudah ditampilkan tadi. Yang belum ada sentuhan editan. Tak ada tempelan masker
yang tutupi congor simpanse dan singa. Dan masker itu sebetulnya bukan banyolan
untuk membuat manusia tertawa. Penawar agar tak terlalu merasakan sebaran virus
dalam tubuh. Namun, masker di congor hewan-hewan, menutupi luka mereka.
Simpanse dan singa serempak penuh darah di mulutnya.
Video menghitam sesaat. Lantas beralih
menampilkan iklan sabun dengan adegan slow
motion: seorang perempuan jenjang menggosok betisnya, kulitnya basah dan
tampak buih menggunung.
Pengalihan itu tak membuat saya hanyut
dalam buih sabun. Ini bukan televisi yang suka sembunyikan kengerian dunia atau
tak sesuai pandangannya. Dan ini adalah siaran yang dinaungi embel-embel sains.
Artinya, singa yang sibuk mengunyah tulang hingga menembus mulutnya, bagian
dari proses ilmiah dan tak dirancang. Mengapa masih perlu sensor?
Saya rasa itu menyalahi kode etik
kenikmatan konsumen. Tak sesuai kesepakatan awal, yang menyatakan peringatan
tayangan ini berbahaya sebab tampilkan senyatanya kehidupan alam luas dan buas.
Dan saya setuju, memang tayangan ini saya cari. Sangat membantu dalam studi
saya. Namun, penyensoran terhadap darah singa seakan melukai keinginan
penonton. Tak sesuai kesepakatan awal. Bukankah kebuasan hewan sampai
berdarah-darah termasuk terms and
agreement diawal? Mengapa masih perlu sensor?
Maka, di tab baru ini, saya membuka
layanan yang disediakan majalah sains itu. Mencari kontak yang dapat tersambung
langsung pada siaran yang diputar. Tak sulit temukan nomornya, namun kesulitan
menyambungkan dengan nomor yang sudah saya pastikan tak keliru. Dalam benak
saya ini hal lumrah, mereka pasang dengan nomor perusahaan, bukan pribadi.
Pastilah dibiarkan berdering di lorong perusahaan dan mengganggu staf lain yang
sibuk.
Tak boleh disudahi pencarian saya hanya
sebab panggilan tak diangkat. Saya menuju kolom live chat di unggahan yang masih hangat ini. Beberapa komentar dari
orang lain sudah singgah, namun bahasan mereka terlalu lugu.
Ada apa ini?
Kenapa tiba-tiba mati?
Aku sudah
berlangganan yang platinum, lho… Kenapa juga kena iklan?
Gak apa perbaiki dulu. Aku
ngeri liat darah, gak etis juga. Kalo perlu dihitam putih atau diblur selayar
sekalian.
Lho…
Sungguh. Komentar-komentar mereka hanya
akan tenggelam dan tak memicu perdebatan. Tak mampu koreksi kesalahan majalah
sains yang melanggar aturannya sendiri. Membuat saya tergerak beri komentar
juga. Perlu saya pikirkan matang dan mulai mengetik di kolom komentar. Saya baca ulang. Menemukan
kata yang kurang cocok. Saya ganti. Saya baca lagi. Begitulah hingga setengah
jam larut. Dan selesai kalimat saya. Sekadar dua kalimat. Cukup menonjok.
Membuahkan saya tersenyum dan tak lupa memencet enter.
Saya suka
tayangan yang menyakitkan ini, tapi kenapa kalian menyudahi? Begitulah sains,
biarlah hewan-hewan menikmati prosesnya dan kita mencermati ulahnya.
Terlalu kejamkah kalimat saya? Atau
(kalimat) mereka yang terlalu baik? Jangan- jangan jika mereka, orang-orang
berkomentar baik, yang takut melihat hewan kesakitan, akan melakukan pemisahan
hewan-hewan yang sedang menjalankan rantainya. Memisah dengan melempar batu
kepada singa tengah mengigit paha kerbau yang sibuk melepas diri. Memukulkan
ranting ke ular yang berusaha melilit bayi rusa karena dianggap kekerasan anak
di bawah umur. Dan parahnya, jika ada kucing berhias kutu tersesat di hutan,
orang-orang baik akan membawa pulang. Mengutuki kutu dengan sabun dan sisir
khusus demi keelokan bulu kucing. Dan setelah itu? Menjadi sayang pada kucing,
tak rela melepas ke hutan lagi. Padahal, kucing sudah mengeong, merasa dirinya
tersesat. Ingin kembali ke alamnya.
Dan sekarang, earphone yang saya kenakan seperti ada ketukan pintu. Saya lepas
sesaat, dan benar: pintu rumah saya diketuk diikuti ngeongan kucing. Saya
mengalihkan mata dari layar dan berjalan ke suara ngeong. Saya buka pintu,
ngeongan semakin ganas dan ia mengendus kaki saya tanggalkan bulu rontok.
Sungguh saya kasihan padanya. Saya lihat sekeliling, ini perumahan, Bung! Hutan
ada di utara sana, sekiranya 135km dari ngeongan di sini. Tak sanggup saya
mengantar apalagi ini musim virus. Begini saja, saya izin ke dapur sebentar. Memungut
paha ayam semalam dan kembali kengeongan. Saya hantar ia ke jalan depan rumah,
kasihkan paha ayam dan ia berhenti meng-ngeong.
Selamat
melakukan perjalanan 135km setelah kenyang!
Saya tak bisa menunggui kucing sampai
hilang di tikungan gang. Segera saja tutup pintu dan cuci tangan. Kembali
tenggelam suara musik dari earphone dan
di hadapan laptop mata saya terbelalak mendapati komentar saya sungguh ramai
tanggapan. Tanggapan- tanggapan itu makin ke bawah, makin jelas membentuk dua
kubu. Katakanlah, antara kubu
orang-orang baik melawan kubu orang-orang jahat.
Tanggapan-tanggapan yang pro dengan komentar saya diserang habis-habisan oleh
kubu orang-orang baik. Terlalu kejamkah kalimat saya?
Setidaknya kekejaman saya, membuahkan
hasil. Satu surat bersarang pada email saya, tertulis pengirim adalah majalah
sains tersebut. Singkat kata, mereka terpancing komentar saya, entah sependapat
atau berseberangan. Mengajak saya live
report sebagai narasumber. Jika hendak, segera hubungi nomor tertera. Ini
nomor yang beda. Ah, mereka akan menguji kepakaran soal naluri hewan. Oke, saya
tertantang. Untuk kebaikan hidup hewan-hewan alam sesuai rantainya, saya
bersedia.
Secara cepat panggilan tersambung, suara
perempuan memanggil saya, inginkan saya tak hanya andil dalam suara, juga
rupa.Tayangan akan segera mulai lagi. Hewan-hewan tanpa masker, bertampang
tanpa dibuat-buat. Menandakan mereka benar-benar sepaham dengan komentar saya.
Tak lama, tayangan tersiar kembali. Terpampang muka saya, berbagi dengan
kondisi di sana. Lagi-lagi mata saya terbelalak, yang mana saya tadi
menginginkan hewan- hewan senyatanya, sederet fakta kali ini di luar bayangan
saya.
Simpanse yang menyimpan luka pada
mulutnya tadi, menyunggingkan mulut sambil berkaca pada air sungai. Sedang
tangannya sibuk memegang batu lonjong dan dirapatkan pada kaleng yang tertancap pada mulutnya. Ia
memoles perlahan dan membenahi posisi kaleng dirasa pas. Pada frame lain, singa tak mau kalah. Tulang
yang menancap—saya rasa tulang kerbau— pada mulutnya, ia gesek pada batu.
Memoles juga. Pada frame yang
bergantian, keduanya meneteskan darah dan tetap menyungging. Adakah kesenangan
baru dalam kesakitan mereka? Atau mereka selalu begitu menanggapi kesakitannya,
dalam hutan yang sebetulnya saya benar-benar tak tahu. Membinasakan kata-kata
saya dalam tayangan ini, yang berkaca atas komentar saya.
Saya benar-benar tak mampu berkata saat
perempuan narator meminta pendapat saya. Medadak kaleng dan tulang itu serasa
beralih mencabik mulut saya. Saya merasakan perihnya, nyerinya, juga bau amis
darah. Kaku lidah saya. Bibir menggigil. Saya kesakitan, keluarkan kata-kata
yang hanya menjadi erangan. Perempuan narator meminta kejelasan lebih lanjut dari komentar saya di laman. Saya
berpendapat. Yang keluar hanyalah erangan. Narator menanyakan ada apa dengan
saya? Saya menjawab. Namun, lagi-lagi yang terdengar hanyalah erangan. Ia terheran-heran. Saya pun
tak paham. Barangkali rasa sakit telah mengubah seluruh kata-kata menjadi
erangan. Perempuan narator tampak kesal karena saya terus-menerus mengerang. Meninggalkan saya dan beralih pada frame-frame
yang tunjukan
senyum
simpanse dan singa punya hiasan baru di mulut. Kaleng dan tulang mereka jadikan
tindik!
Sambungan telekomunikasi
terputus. Wajah saya lenyap dari layar.
“Mohon maaf, Pemirsa. Sepertinya ada
gangguan komunikasi. Kami akan berusaha menyambungkannya kembali dengan
narasumber.”
Layar beralih, memperlihatkan hamparan
maha luas. Diikuti suara narator pamit undur diri, serta meminta maaf atas
narasumber yang tak bersuara. Saya malu. Sebab, tak tahu pasti kehidupan
hewan-hewan lebih dekat. Dan sekarang, berharap hamparan maha luas ini
mengkerdilkan simpanse dan singa—terlihat dari kejauhan— agar mereka tampak
normal- normal saja.
2022
JUARA 2 CIPTA CERPEN BULAN BAHASA 2022
Tanah Kehidupan Baru
Langit abu-abu menyapa Rima yang sedang bergelut dengan
pikirannya. Hatinya teduh, hanya tinggal menunggu waktu untuk melontarkan sang
petir. Rasanya seperti mimpi buruk dan ia hanya ingin terbangun dari mimpi itu.
"Tak adil" ucap Rima sambil
berdecak.
Kejadian ini merupakan kiamat kecil bagi keluarganya. Rima
belum cukup ikhlas untuk meninggalkan kenangan di tanah kelahiran, rumah
lamanya. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup, kini harus dirampas
oleh keserakahan keluarganya.
"Teh dipanggil ibu," ucap Rina
sambil menepuk bahu Rima
Rima terkejut dengan suara yang dilontarkan adiknya. Lalu, ia pun mengangguk dan
berjalan menelusuri rumah dengan menunjukkan topeng kehidupannya.
"Bu, ada apa?" tanya Rima kepada ibunya yang sedang
merapihkan baju. "Baju kamu sudah dirapihkan, Teh? Baju Rina juga
sudah?" tanya ibu. "Sudah rapih, Bu" jawab Rima.
Ibu tersenyum. "Nya atuh bagus. Besok kamu sekolah diantar sama bapak wéh
yaa. Ibu mau cari TK buat Rina di sekitar," tutur ibu.
Rima mengangguk, "Nya, Bu."
Pagi pun tiba diiringi mentari yang menyambut kehidupan
baru Rima. Rasanya enggan sekali untuk menginjakan kaki di sekolah baru. Ia tak
bersemangat hari ini hingga tak ada senyuman manis di bibirnya.
"Aduhh si cantik kenapa kusut gitu
mukanya?" tanya ayah.
" Yah, boleh ga si aku gak sekolah
aja?" kata Rima.
"Eh kok ngomongnya gitu. Pendidikan itu penting, Teh.
Teteh gamau direndahin untuk kedua kalinya, kan?” tanya ayah.
Rima merespon dengan menggelengkan kepala saja. "Tapi
aku takut Yah, aku takut sulit beradaptasi dengan teman-teman baruku
nanti,”tegas Rima.
“Apa yang kamu
takutkan, Teh?”tanya ayah.
“Aku pasti kurang paham dengan bahasa obrolan mereka, Yah.
Aku kan dari kampung, bahasa sunda pun
aku cuma bisa dasarnya aja.” Rima menghela nafas.
Ayah tertawa. “Hahaha, cuma itu loh.”
“Gini loh, Teh. Bahasa di indonesia itu kan ada banyak
sekali. Mengenal orang baru tuh sebuah kebanggaan untuk kita karna kita dapat
mengenal hal baru yang tidak diajarkan di sekolah. Pasti temen kamu juga ngerti kok, jangan takut ya. Anak
Ayah pemberani, kan.” Menatap Rima dengan memberikan semangat.
“Oke deh, Yah. Yuk berangkat.” Rima
tersenyum ke arah ayah.
Setelah perbincangan yang dilakukan ayah bersama Rima
selesai, mereka berpamitan dengan ibu dan adiknya yang sedang mengisi perut di
meja makan.
Mereka tiba di sekolah, ayah pun mengantarkan Rima ke ruang
guru untuk mengurus berkas yang tertinggal. Setelah itu, Rima diantarkan ke
sekolah bersama wali kelasnya.
"Apakah harus dimulai dari awal lagi?” ucapnya dalam hati sambil memandangi setiap sudut sekolah.
Setibanya di ruang kelas, Rima memperkenalkan diri kepada
teman-teman layaknya siswa baru. Mereka menyambut Rima dengan hangat. Tetapi,
Rima selalu saja berpikir buruk terhadap lingkungan di sekitarnya.
“MashaAllah ayu tenan,” ucap salah satu murid lelaki di pojok kelas.
Semuanya bersorak
ke arah lelaki itu.
Rima merasa bingung. “Namaku Rima bukan
Ayu.”
Gemericik tawa dari anak-anak memenuhi ruang kelas. Rima
terkesan malu. Ia belum mengerti tentang bahasa mereka karena di lingkungan
sebelumnya menggunakan bahasa daerah setempat dan berbeda dengan bahasa di
sini.
“Ayu yang dimaksud Dimas tuh bukan nama orang, Rim” ucap
salah satu anak kelas.
“ Ya terus téh apa?”tanya Rima
“Itu artinya kamu cantik,” tutur Dimas.
Ibu Guru hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak
muridnya. “Sudah-sudah. Anak-anak, Rima ini pindahan dari kampung tepatnya
daerah Bogor. Jadi, Rima belum terbiasa dan mungkin terkejut dengan bahasa
keseharian daerah kita. Nak Rima silakan duduk bersama dengan Nak Dina,”
“Baik, bu. Terima kasih,” sahut Rima.
Kemudian, kegiatan belajar mengajar pun
berlangsung.
Dina mendekati Rima lalu tersenyum. “Rima, kamu jangan khawatir. Aku
juga orang sunda kok.”
“Loh kamu sunda?” tanya Rima dengan terkejut Dina menganggukan kepala.
“Muhun”
“Ih seneng pisan” tutur Rima.
Rasanya lega ketika Rima menemukan kawan dengan bahasa
daerah yang sama. Pikiran negatifnya mulai surut, ia berpikir jika mempunyai
teman satu saja sudah cukup untuk dirinya.
Jam istirahat pun tiba, seluruh siswa beranjak meninggalkan
kelas dan menuju kantin untuk menyantap camilan.”
“Kamu mau jajan, Rim?” tanya Dina
“Aku bawa bekal,
Din” sahut Rima dengan menunjukkan bekalnya.
Dina beranjak dari tempat duduk dan bersiap menuju kantin. “Oh nya atuh. Dina ka kantin nya”
“Nya din,” ucap
Rima.
Elis menghampiri Rima. “Hai, Rima. Aku Elis,
salam kenal.”
“Halo, Elis. Salam
kenal kembali. Aku bawa nasi goreng buatan ibuku nih.
Kamu mau?” tutur
Rima
“Terima kasih, aku juga bawa bekal kok. Kita makan bareng,
yuk!” ajak Elis. Rima sangat senang. “Yuk”
Rima dan Elis menikmati makan siangnya. Ia bercerita
layaknya teman yang sudah kenal begitu lama. Setelah makanan yang mereka makan
sudah habis, teman-teman lainnya pun kembali ke kelas dengan membawa sisa
jajanan yang mereka genggam.
Gita menghampiri Rima dan Elis. “Wah, Elis udah akrab nih sama anak
baru.” “Rima anaknya asik banget loh,” tutur Elis
Gita berbisik, “Jangan lupain temen lama yo, Lis.” “ora,” sahut
Elis.
“Biasanya kamu bawa gedhang aku
mau minta dong,” pinta Gita Elis menyodorkan pisang kepada Gita, “Nih.”
“Loh ini gedhang? Ini tu pisang loh,” ujar Rima.
“loh ini gedhang kalo di
bahasa Jawa. Gedhang itu pisang, Rim”
jelas Elis. “Gedhang itu kalo di
daerahku pepaya” ungkap Rima.
Mendengar perbincangan tersebut, Dina pun menghampiri Rima. “Iya, Rim.
Memang betul kalo di sunda gedhang itu
pepaya.”
“Kalau di kampungku Madura hampir sama
dengan bahasa jawa yo, gheddâng
tu pisang” tutur
Ainul.
“Kamu orang Madura?”tanya Rima.
“Engko
asli oreng madura” ucap Ainul dengan menggunakan bahasa Madura.
Rima dan teman-teman lainnya merasa
bingung dengan ucapan yang diolontarkan Ainul.
“Artinya apa, Nul?” tanya Rima penasaran.
Ainul pun menjawab, “Artinya, aku asli orang
Madura” “Ih pusing deh, beda bahasa pasti beda arti” cetus Gita.
Rima dan teman-temannya tak sadar jika bel istirahat sudah
berakhir. Ibu Guru pun sudah memasuki ruang kelas dan mendengarkan perbincangan
yang sedang dibicarakan oleh mereka. “Hayo, siapa yang mengajarkan seperti
itu?”
“Maaf, Bu.” Lirih
Gita.
Ibu Guru hanya menganggukan kepala dan memerintahkan siswa
untuk duduk di tempatnya masing-masing.
“Anak-anak, keberagaman bahasa di Indonesia tu memang banyak
sekali. Contohnya di kelas ini. Rima berasal dari suku Sunda, Ainul berasal
dari Madura, dan teman-teman lainnya mungkin asli daerah sini. Rata-rata teman-
teman di kelas ini menggunakan bahasa jawa karna berasal
dari daerah Jawa. Begitupun, Rima. Ia berasal dari Bogor dan tentunya
menggunakan bahasa Sunda di kehidupan sehari-harinya,” terang Bu Guru.
“Jadi, kita sebagai warga negara Indonesia harus
melestarikan bahasa daerah dan menghargai berbagai macam bahasa di Indonesia,”
tuturnya.
Siswa terdiam menyerap perkataan yang disampaikan oleh bu guru
di depan kelas. Kemudian, siswa kembali fokus dengan materi pembelajaran selanjutnya.
"Baik, anak-anak. Kita lanjutkan materi yang kemarin,
ya. Buka buku paket bahasa Indonesia halaman 32."
Siswa pun
mengikuti arahan guru.
Tak terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi. Siswa
berbondong-bondong meninggalkan ruang kelas. Terlihat Rima sedang menunggu
dijemput oleh ayahnya.
"Rim, duluan yo" sapa Dina yang sedang melaju dengan
sepedanya. "Iyaaa hati-hati," sahut Rima melambaikan tangan ke arah
Dina.
Tak lama kemudian, ayah pun datang dengan motor tua yang selalu
menemaninya.
"Bagaimana
hari ini, nyonya?" tanya ayah dengan senyum manisnya sambil memberikan
helm untuk anaknya.
"Iya atuh pasti," ucap Rima sembari menggunakan helm.
Sepanjang perjalanan Rima bercerita tentang hari ini. Ayah
bagaikan rumah dan bisa menjadi payung. Ia selalu menjaga Rima dari terpaan
jahatnya dunia dan menjadi tempat istirahat dikala lelahnya berproses.
"Seru kan, Yah. Jadi téh Rima teu cuma bisa bahasa sunda doang. Tapi, Rima ogé bisa belajar bahasa jawa ka si Elis jeung bisa belajar bahasa Madura ka
Ainul," ucap Rima sambil membukakan helm di kepalanya. Ia tak henti-
hentinya bercerita walaupun sudah sampai di rumahnya.
“Nah kan bener kata Ayah tadi pagi. Di kehidupan baru ini,
kita tidak hanya bertemu dengan orang baru. Tapi, kita juga bisa mengenal
lingkungan dan juga bahasanya. Kita bisa belajar hal baru di luar mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah. Jadi, Rima jangan takut kalau tidak
mengerti bahasa teman-teman di sekolah. Ayah juga dulu kurang paham dengan
bahasa sunda yang sering diucapkan oleh mamahmu,” terang ayah.
Rima tertawa mendengar cerita ayah. “Rima mau deh bisa
keliling Indonesia, jadi Rima bisa tahu bahasa-bahasa daerah di Indonesia”
Ayah sangat terharu dengan semangatnya Rima. “Berarti Rima
harus belajar biar pinter supaya cita-citanya tercapai”
“Aamiin”
ucap Rima.
Rima sangat senang dengan keadaan ini, meskipun sebelumnya
ia merasa cobaan ini merupakan badai untuk keluarganya dan selalu beranggapan
akan gelap kehidupannya. Namun, kegelapan itu mampu diterangkan kembali bak
matahari yang selalu menerangi bumi. Nyatanya, badai hanya sementara. Melalui
kesabaran dan keikhlasan akan memberikan pelangi yang indah.
Rima mengerti bahwa kejadian yang menimpa keluarganya tidak
selalu membawa keteduhan. Kehidupan yang baru pun tidak akan selalu buruk.
Adaptasi memang sulit, tetapi akan lebih sulit jika bertahan dengan situasi
yang selalu menyakitkan. Ia mencoba menerima semua hal yang terjadi di
kehidupannya dan terus belajar di kehidupan barunya. Salah satu karunia yang ia
dapatkan di lingkungan barunya yaitu mampu mengenal bahasa daerah dari setiap
teman-temannya.
JUARA 1 CIPTA CERPEN BULAN BAHASA 2022
PAK AGUS DAN SEPANJANG
JALAN BANGUNAN-BANGUNAN TUA PENINGGALAN BELANDA
;era kekinian tidak kekurangan
ragam bahasa, ia hanya perlu merawat sebaik-baiknya.
Oleh Muammanah Fauzi*
Sudah hampir pukul sepuluh malam, buku-buku di keranjang
sepedanya tidak ada yang membaca.
Tempat ini telah menjebak Pak Agus dalam nasib yang tidak beruntung. Tempat terburuk dari pusat
kota. Sampah dan pengemis berserakan di jalanan.
Putung rokok dan pelacur bertebaran di trotoar. Anak-anak gelandangan yang dipaksa
beraut wajah menyedihkan sudah terlihat mabuk dengan kemiskinan. Di depanku, seorang
preman pasar melangkah sempoyongan dengan celana komprang yang hampir kedodoran, sambil mengepal
uang sekitar tujuh belas ribu di tangannya, ia melewati
pak Agus yang masih sabar menunggu pelanggan. Saya mengawasi langkahnya sampai ia berbelok
ke lorong yang memanjang diantara
gedung-gedung tua peninggalan Belanda, tempat para pelacur memajang
diri menunggu jam sewa mereka.
Tapi mala mini benar-benar sepi. Malam minggu tidak seramai malam-malam
lembur seperti biasanya. Para pekerja
kantoran lebih memilih liburan bersama keluarga saat minggu tiba daripada mampir ke tempat ini, menggeniti pelacur
seksi. Jadi hanya ada satu dua
pelacur yang masih siaga di remang-remang lampu. Saya habiskan kopi saya di warkop pojok tempat ini. Saya mampiri
pak Agus diseberang jalan dengan membawakannya kopi susu hangat.
“Permisi, pak, saya mau baca bukunya A.S Laksana, pak”.
Sapaku sambil menjulurkan kopi yang tadi saya beli ke arah pak Agus. Saya mengambil tempat duduk yang
nyaman di trotoar, tepat disamping pak Agus dan sepeda
ontelnya.
“Nggeh, nak. Pak
Agus carikan sebentar ya. Kota tanpa
kelamin, kan?” “Nggeh, pak. Benar.”
Sebenarnya memang dari dulu saya sangat menggemari
karya-karya sastrawan besar bung
A.S Laksana ini. Selain mengandung sastra yang renyah, kritik sosial dengan paduan alur cerita yang tidak
dimiliki sastrawan lain, mampu membaca dan memekai keadaan
sosial secara nyata,
saya juga banyak mendapatkan kosa kata bahasa
yang asik dibaca. Cerpen-cerpen AS Laksana seperti sihir yang menghadirkan
sesuatu
yang tak terduga-duga, yang kemudian meninggalkanmu dengan bibir melongo
berlama-lama. Saya juga pelanggan dan pembaca buku-buku dari lapaknya
pak Agus. Meski setiap buku hanya
dijatahi seharga seribu rupiah dalam 1 kali duduk oleh pak Agus, saya sering
memberi lebih kepada beliau, hitung-hitung ongkos terimakasih saya karena
beliau masih terus berjuang menebar kebaikan dan pengetahuan. Ditambah daritadi
saya lihat, pak Agus tidak ada pengunjung, saya kasih ongkos makan, mumpung rejeki saya lebih. Namun tujuan
awal saya kesini sebenarnya bukan untuk membaca
buku-bukunya pak Agus, melainkan karena saya ingin mengobrol seputar kehidupan beliau yang telah memilih
bekerja di tempat seperti ini, tempat yang orang- orangnya pura-pura lupa akan ada neraka esok hari. Lelaki itu
duduk disampingku. Wajahnya keriput
dan pucat dan sangat tua. Sembari menyeruput kopi yang saya bawakan,
pak Agus memulai pembicaraan.
“Sampeyan ga bosen, nak baca buku disini?”
“Waduh pak Agus, saya malah senang baca buku sembari
diskusi sama pakarnya langsung
begini..”. Pak Agus terkikik.
Gigi-giginya yang sudah banyak hilang
dimakan usia, membuat
pak Agus semakin
terlihat tidak berdaya.
Orang tua seperti
pak Agus seharusnya sudah
berdiam dan istirahat di rumah, menikmati waktu senjanya bersama keluarga, bermain bersama cucu-cucunya. Namun kehidupan
seperti itu tidak pernah ada di tempat seperti
ini. Siapa yang menganggur, dia yang akan kalah dan dicap tidak bertanggung jawab akan hidupnya.
Makanya, semua orang di tempat ini giat bekerja,
meski harus menghalalkan segala cara, semata-mata untuk bernapas lebih lama.
Pak Agus sudah berumur 86 tahun, beliau seumuran dengan
Chairil Anwar, penyair ternama
Indonesia itu. Oleh karena itu, pak Agus sudah sangat fasih tentang perkembangan sastra dari tahun ke tahun.
Meski sudah berumur dan terkadang pikun, pak
Agus adalah sesosok panutan dalam urusan
mengingat perjuangan sastrawan Indonesia, pak Agus senang menceritakan
ulang novel-novel Pramoedya Ananta Toer dengan
perbandingan kejadian aslinya dahulu. Pak Agus pernah kena semprot orang- orang Belanda berkali-berkali karena membagi pengetahuan kepada teman-teman seperjuangannya. Hal itu dianggap
membuat masyarakat pribumi malas bekerja untuk
Belanda, sehingga tak jarang pak Agus dan teman-temannya dipukuli.
Pak Agus adalah
pahlawan baca yang hidup sampai
sekarang. Sayangnya, nasib beliau selalu tidak
seberuntung orang lain sejak 86 tahun yang lalu. Setelah Indonesia
merdeka, Pak Agus
pindah ke Jakarta, guna mencari kerja yang lebih layak. Namun naas, pak
Agus jadi korban penipuan
dari rekan kerjanya
sendiri disana. Barangkali Semarang akan menjadi
nasib yang baik, Pak Agus mencoba mengundi nasib disana. Sayangnya,
setelah 14 tahun bekerja, pabrik
tempat pak Agus bekerja mengalami kebakaran dan kerugian besar-besaran sehingga semua pegawai pabrik itu di PHK paksa.
Apalah daya kalau sudah takdir, Pak Agus
pasrah dan harus tetap menjalani hidup. Kemudian pak Agus pindah ke Sumatera, disanalah dia
dipertemukan dengan kekasih hatinya, penjual nasi Padang yang cantik jelita dan sopan menarik hati. Pak Agus
melabuhkan hati dan menikahinya.
Sayangnya, kehidupan mereka tidak mudah, dililit hutang sana sini membuat
Sunarsih, diam-diam meninggalkan Pak Agus dan menikah lagi. Entah sekarang Sunarsih bahagia dan telah
melupakan pak Agus, atau malah tidak bisa lepas dari nasib hutang
seperti rumah tangganya dulu yang jelas,
Pak Agus sudah
ikhlas.
Kemudian pak Agus pindah ke tempaat ini, menjadi lapak baca keliling
sampai sekarang.
“Sejak tahun 1998-2008, masih banyak yang baca buku pak
Agus ini, sehari bisa lima puluh
ribu. Kalau sekarang, dapat satu pembaca saja saya sudah bersyukur”. Kata pak Agus dengan suara yang
sudah ngos-ngosan.
“Mungkin karena sekarang sudah serba digital, pak. Jadi
anak-anak bisa baca buku dengan mengakses internet”
“Iya bapak dengar-dengar juga emang karena itu. Bapak tidak
punya telefon, makanya tidak
tahu.”
“bapak kenapa memilih
buku-buku sastra pak yang disediakan di lapak pak
Agus?”
“Karena saya senang
dengan sastra, le. Sastra
adalah pertunjukan dari seniman- seniman kita mengolah bahasa, dari bahasa Indonesia, sampai bahasa derahnya
mereka. Pak Agus kepingin
jadi sastrawan tapi ga kesampean…”
Pak Agus menghela napas, sambil menyeruput kopinya. Saya mengangguk-angguk mengerti. Kemudian pak Agus menepuk
bahu, melanjutkan “…Generasi-generasi sampeyanlah yang harus lebih melek sastra. Merawat kekayaan bahasa
daerah. Apalagi sekarang sudah ada internet toh kata sampeyan
tadi? Makin canggih,
manfaatkan itu. Anak-anak
harus dikenalkan
dengan sastra dan buku-buku, nak. Karena belajar
sastra mendukung intelektual mereka, imajinasi, karakter dan perilaku santun anak. Pak Agus
lihat sekarang anak muda yang
berkata-kata halus sudah jarang. Lebih banyak yang senang berbicara sarkastis daripada puitis. Sastra sudah
jarang ditemui, nak. Saat anak-anak kehilangan
sastra, mereka akan kehilangan budinya berbahasa”
“Tapi kenapa pak Agus memilih tempat ini? Kan pak Agus bisa
mengajar di sekolah?”, saya sadar
pertanyaan ini lancang diajukan kepada pak Agus, tapi rasa penasaran
saya mendesak untuk diutarakan langsung kepada beliau.
“Di sekolah, adalah tempat orang-orang yang mampu membayar
pendidikan. Disini, jangankan
membayar pendidikan, membayar
nasi saja kesusahan, apalagi sampai membaca
buku, belajar sastra. Orang susah seperti kami, kehilangan segalanya jika tidak mencari, nak”
“Tapi kalau disini siapa yang membaca,
pak? Saya lihat bapak sepi pelanggan?”
“Ada, tapi mereka lupa bayar. Tidak apa-apa. Terkadang
pelacur-pelacurlah yang senang
membaca. Mereka belajar sastra untuk menyenangkan pelanggannya.. “ Pak Agus tertawa geli, “… saya jadi mikir,
semoga mahasiswa-mahasiswa tidak kalah dengan pelacur-pelacur itu. Mereka saja belajar sastra
untuk menyenangkan pelanggan
haramnya. Masa mahasiswa enggan mempelajari sastra karena malas, padahal
uda bayar mahal, halal pula.”
Saya tertampar dengan perbandingan pak Agus. Melihat banyaknya
kesempatan emas belajar yang
disia-siakan kaum ber-uang untuk kuliah, memang menyakitkan sekali. Pak Agus memang tidak
berpendidikan tinggi, namun beliau sangat peduli tentang perkembangan
sastra di masa setelahnya kelak.
“Terkadang juga anak-anak gelandangan itu yang baca. Mereka
bilang ingin sekolah, tapi kesempatan
emas tidak ikut lahir bersamaan dengan lahirnya mereka. Sastra dan buku bukan segalanya, nak. Tetapi segalanya bisa
berawal dari sana. Pak Agus titip sastra di tangan sampeyan,
nak”
“Kapan-kapan
kita jalan-jalan ya, pak?” “Kemana?”
“Ke Perpustakaan Nasional.”
“Pak Agus harus kerja”
“Jangan dipikirin, pak Agus. Pak Agus Istirahat, sudah larut pak. Esok saya
kembali”
***
Setelah kepindahan dinas saya ke Bandung, saya kangen
berdiskusi dengan beliau. Tentu saja
poercakapan-percakapan dengan pak Agus setahun lalu masih jelas di kepala. Karena pak Agus, saya sepakat
dengan istri untuk menguliahkan anak-anak kami
di Fakultas kesusasteraan. Saya akan mengunjungi pak Agus, untuk memenuhi janji saya waktu itu untuk mengajaknya ke
perpustakaan nasional. Saya menurunkan jendela
mobil, diluar gerimis menambah suasana sendu tempat ini. Wangi parfum bertebaran di sepanjang jalan, aroma mawar
yang paling tercium. Saya kira pelacur- pelacur
itu telah pensiun dan bertaubat, ternyata mereka masih belum menemukan “suami sejatinya”. Mereka menggoda saya, mereka mengira
saya lagi mencari
perempuan cantik diantara mereka, padahal saya ingin menanyakan pak
Agus. Di seberang jalan
warkop pojok, pak Agus tidak kelihatan menjajahkan bukunya.
“Maaf mbak, saya mau tanya alamatnya pak Agus, tukang lapak
baca keliling seberang jalan sana?”
sembari menunjuk arah warkop, saya memilih kata-kata yang sopan dan
berhati-hati
“Oh
si pahlawan baca itu, mas?” “Aaaa, iya benar. Si pahlawan baca”
“Beliau sudah istirahat, mas. Kata beliau, kalau ada orang
datang mencarinya, untuk mengajak ke perpustakaan nasional, suruh ajak kami saja”
Dada saya memanas,
tangan saya gemetar,
saya terlambat. Pak Agus si pahlawan
baca di tempat ini telah beristirahat dengan tenang. Pak Agus, engkau kekal di ingatan kami, di ingatan
perempuan-perempuan nakal yang menggemari sastra ini. Semoga engkau dalam kehidupan selanjutnya yang lebih layak,
bapak pahlawan baca kami.
“Oh iya, besok ajak teman-teman sampeyan berbusana yang
sopan ya mbak, kita ke perpustakaan nasional”
Tiba-tiba sepanjang jalan diantara gedung-gedung tua
peninggalan Belanda itu ramai dipenuhi
sorak-sorai, pelacur-pelacur itu senang besok akan ke kota, mempelajari sastra. Pak Agus,
telah abadi di ingatan mereka.
Surabaya, 08 November 2022
-
Suar Gema Metafora di Pusar Gelanggang Puisi || Muhammad Iqbal Khoironnahya Kepada para mahasiswa Yang merindukan kejayaan Kepada rakyat ...
-
Metamorfosis Virus Sebuah majalah sains menampilkan tayangan di lamannya. Tampilkan latar sebuah hamparan hutan luas, memparodikan sim...